Amiruddin (67 tahun), warga di Paloh, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, berprofesi sebagai petani biasa.
Akan tetapi setiap kali ada hajatan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Amiruddin yang selalu dikunjungi para politisi yang berpikiran pragmatis.
Mereka selalu minta petunjuk bagaimana caranya mengantongi perolehan suara banyak jika ingin memenangkan pertarungan, serta teknis apa yang bisa dilakukan.
Amiruddin yang sering diklam sebagai orang yang bisa berkomunikasi dengan arwah leluhur dan digelar Panglima Baru Berantai, Paloh, mengatakan, tidak ada yang istimewa.
“Orang selalu datang. Malah ada yang sudah terpilih dari Kepala Daerah atau anggota DPR, datang, mengucapkan terimakasih,” kata Amirrudin.
Amirrudin, tidak mau menyebut nama orang tersebut, karena menyangkut rahasia profesi, agar klien yang lain tidak jera datang.
Dikatakan Amirrudin, setiap klien yang datang untuk bisa kantongi suara banyak tidak ada petunjuk khusus dan atau langkah apa yang harus dilakukan.
“Saya hanya memberikan nasihat spiritual, tidak lebih dari itu,” kata Amirrudin.
Hasanuddin, warga Toho, Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah, mengatakan, peran dukun antara ada dan tiada, karena ketergantungan satu sama lain.
Menurut Hasanuddin, seorang dukun selalu didatangi, karena mendapatkan kepercayaan dari klien.
Hasanuddin, mengklaim ada sejumlah anggota legislative, selalu berkomunikasi setelah duduk di lembag wakil rakyat, termasuk meminta petunjuk masalah pribadi.
Diungkapkan Hasanuddin, pernah seorang oknum politik meminta nasihat untuk kawin lagi, poligami, karena bertemu dengan cewek cantik dan menggairahkan.
“Saya selalu tegaskan dari awal setiap orang yang datang untuk pantang poligami. Kalau ketahuan poligami, tidak akan saya ladeni lagi,” kata Hasanuddin.
Hasanuddin tidak sependapat disebut sebagai dukun, tapi lebih pas disebut sebagai penasehat spiritual.
Secara sosiologis, fenomena dukun bukan barang baru. Dukun adalah orang yang dipercaya memiliki kekuatan dan mampu menggunakan kekuatan magisnya untuk keuntungan pihak tertentu.
Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Jangan mencari riset akademik tentang hal ini.
Dukun politik mendapat tempat khusus dalam dinamika politik kekuasaan jaman pemerntahan Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998).
Orang kuat sekelas Soeharto juga dangat dikenal gemar berinteraksi dengan dukun yang disebut sebagai 'penasihat spiritual'.
Amiruddin dan Hassanudin, lebih cocok disebut sebagai penasehat spiritual.
Setiap orang yang menjabat Kepala Daerah atau anggota DPR memang ada penasehat spiritual yang rutin memagarinya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Jakarta, Minggu, 19 Februari 2023, menilai, berdukun bukti tidak percaya diri.
Ketua Bidang Religi dan Peradilan Adat Dayak International Organization, Tobias Ranggie, SH, mengatakan, percaya dukun berarti orang kurang kurang beriman kalau dikultuskan.
“Jika dikatakan sebagai penasehat spiritual, barangkali ada benarnya, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Termasuk kelebihan seseroang bisa berkomunikasi dengan arwah leluhur,” kata dia.
Dikatakan Tobias Tobias, maraknya peran dukun setiap kali digelar Pemilihan Umum Kepala Daerah, karena dan saling membutuhkan.
Satu pihak, karena rasa tidak percaya diri, meminta pendapat kepada seseorang, sedangkan di dukun melalukan apa saja, akankan dipercaya demi dapat duit.
Sebelumnya, politisi Ruhut Sitompul mengakui adanya praktik perdukunan di dunia politik. Banyak politisi yang yang mempercayai jasa dukun agar dapat memenangkan pemungutan suara.
Selain untuk mendulang suara, politisi pergi ke dukun untuk meningkatkan rasa percaya diri. “Ada yang nyekar, ada itu yang ke makam–makam, sebenarnya itu juga itu saya masih bisa terima. Tapi kalau yang sudah ketemu orang, dia sembur–semburkan kita pakai air pakai apa, mandi kembang, waduh, tapi mereka percaya, kita hormatilah, itulah kekayaan budaya kita,” kata Ruhut, beberapa waktu lalu.
Ia bahkan menyebut praktik perdukunan adalah budaya masyarakat Indonesia. “Itu kan budaya kita ya, kita harus hormati juga orang yang percaya dengan hal–hal seperti itu,” kata Ruhut.
Menurut Ruhut tak ada tarif tertentu dalam praktik perdukunan politik. Seorang politisi memberikan imbalan jasa dengan besaran secara suka rela. Imbalan juga tak harus dalam bentuk uang, bisa dalam bentuk benda berharga lainnya.
“Memang biayanya kalau saya tanya ke kawan saya, itu semua suka rela, gak dipatok. kadang – kadang orang itu karena prestasi dia, karena garis tangan, tapi karena dia percaya dia bisa kasih macam – macam, dia menganggap karena dukun itu padahal karena Tuhan,” kata Ruhut.
Ruhut menjelaskan terkadang memang ada perjanjian jika calon berhasil atau lolos maka sang dukun akan mendapatkan hadiah sebagai bentuk balas jasa. Namun tidak sedikit juga para calon yang telah berhasil menjabat lalu melupakan jasa dan peran dukun.
Ada juga seorang politisi yang rela membayar dukun ratusan juta hingga Rp 1 miliar setelah dia berhasil menduduki jabatan tertentu.
“Kalau awal–awalnya tidak dipatok. Karena percaya dengan itu, sama aja sebenarnya wujudnya manusia tapi ada yang percaya dengan batu cincin, dengan akar bahar, dan lainnya,” kata Ruhut.
Praktik penggunaan jasa dukun politik tidak hanya pada tingkat legislatif saja. Praktik yang sama juga terjadi untuk menduduki jabatan seperti lurah, camat, bupati, gubernur bahkan menteri. “Rata – rata kalau di Indonesia begitu (pakai dukun politik),” paparnya.
Adapun praktik perdukunan yang kerap digunakan ini berupa memberikan air untuk diminum atau disiram. Kemudian, melalui udara yakni dengan mengumpulkan berbagai materi seperti tanah, debu dan lainnya lalu disebar di udara.
Selain itu juga ada modus yang dapat mempengaruhi pemilih ketika di Tempat Pemungutan Suara (TPS), seakan secara cepat mengubah pilihan ketika menyoblos surat suara.
Praktik Klenik Politik Juga Ada di Cina dan Amerika Latin
Dunia politik di Indonesia tak bisa dilepaskan dari praktik dunia klenik dan perdukunan. Begitulah kata Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto.
Bahkan menurut dia ritual seperti pergi ke dukun, laku klenik hingga mendatangi makam yang dikeramatkan sudah terjadi sejak pemilihan umum pertama kali digelar di Indonesia tahun 1955.
“Biasanya menjelang pemilu ini memang banyak yang aneh-aneh, dan itu bukan barang baru, sudah ada sejak 1955,” kata Gun Gun, beberapa waktu lalu.
Tak hanya di Indonesia, bahkan praktik klenik di panggung politik juga ada di berbagai negara seperti di Cina dan Amerika Latin.
Mestinya menurut Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute (Policy) ini, proses politik termasuk pencalegan adalah bersifat rasional. Sehingga, beragam cara yang berkaitan dengan urusan pencalegan sudah seharusnya mengutamakan rasionalitas.
Meski begitu, kondisi ini tak terhindarkan sebagai bagian dari tradisi sosial keagamaan. Tak tertutup kemungkinan bahwa sebagai orang beragama, bisa saja caleg memadukan rasionalitasnya dengan kekuatan doa.
Namun, Gun Gun menekankan, aktivitas yang bisa dilakukan sebatas mendoakan bukan meminta sesuatu atau kerap disebut ‘berkah’ dari orang yang sudah dikubur.
“Kalaupun mereka datang untuk mendoakan leluhur atau orang tuanya, ya wajar sih, karena itu juga sudah tradisi dalam praktik sosial keagaman kita. Tapi kalau mau meminta di kubur apalagi untuk bisa menang dalam pencalegan, itu praktek irasional dan menunjukkan sisi inferior,” kata Gun Gun.
Hal yang sama dikatakan pengamat politik dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta Ari Dwipayana. Bahkan menurut dia praktik klenik tak hanya mewarnai panggung politik di Indonesia, namun juga kehidupan masyarakat tertentu.
Misalnya dia mencontohkan, ada sebagian masyarakat yang hingga kini meyakini bahwa dengan pergi ke dukun, maka ia akan bisa mendapatkan posisi atau jabatan tertentu. “Fenomena ini terjadi tak hanya dalam urusan politik tapi dalam hal jabatan birokrasi pun orang datang ke dukun dan ziarah kubur,” kata Ari. (dtk)